RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

Ikhlas Itu

©Azaleav
Uang di kantong tersisa sepuluh ribu rupiah dalam pecahan lima ribuan. Uang segini cukup buat dua kali makan, siang ini setelah Jumatan dan nanti malam. Tapi aku pengen sedekah, aku pengen ngisi kotak infaq ini. Gimana ya? Kalau aku sedekah lima ribu berarti aku cuma bisa makan malam. Ah tak apalah, walau berat, tapi aku ikhlas.
Ikhlas itu terkadang memang butuh pengorbanan, entah pengorbanan secara fisik maupun mental. Secara fisik mungkin seperti contoh di atas. Tubuh harus bertahan dari yang namanya lapar hingga malam hari. Perut hanya diisi gelontoran air minum. Sedangkan secara mental, biasanya akan terbebani dengan pikiran-pikiran yang sebenarnya hanya halusinasi semata. “Nanti kalau aku lapar banget gimana?”, “Kalau di jalan ada apa-apa gimana? Padahal uangnya sudah dipake infaq”, juga “Aduh nanti kalau aku tiba-tiba butuh uang piye?” biasanya akan terpikir setelah kita mensedekahkan apa yang kita punya. Terkadang aku juga sih.
Ikhlas itu berat, memang benar. Dari ilmu yang pernah aku dapat, sesuatu akan dinilai keikhlasannya saat kita berat untuk melakukannya. Seperti contoh di atas lagi. Sisa uang cuma sepuluh ribu rupiah, padahal terasa lapar. Nah, saat dengan berat hati kita keluarkan selembar lima ribuan untuk sedekah dan kita tetap yakin untuk sedekah, saat itu pula kita telah ikhlas. Ya, ikhlas itu berat, tapi nikmat saat hasilnya datang.
Ikhlas itu punya berbagai macam analogi. Teringat saat dulu berkumpul bersama teman-teman berdiskusi tentang analogi sederhana dari ikhlas. Ada yang menyebut “Ikhlas itu seperti tukang parkir”. Saat mobil atau motor diminta yang punya, ya diberikan saja. “Ikhlas itu seperti saat kita mem-bully teman akrab”. Teman kita akan berat hati untuk membalas dan memilih untuk tidak membalas. “Ikhlas itu seperti orang meludah”. Walau berat hati dan takut bibirnya kering, tapi tetap ludah itu diludahkan juga. Yang lebih unik adalah “Ikhlas itu seperti orang (maaf) buang air besar”. Orang yang buang air besar tak mengharapkan apa yang dikeluarkannya untuk kembali. Nah, seperti itulah ikhlas. Tak mengharapkan balasan dari orang. Hanya berharap pahala dari Sang Pencipta.
Ikhlas itu untuk mengharap pahala. Kalau kita membicarakan kebaikan kita, ya sama saja kita nggak ikhlas. Misalnya ada si A sedekah Rp 1 juta. Dia minta namanya disebutkan saat pembacaan daftar sumbangan yang masuk. Ini namanya nggak ikhlas. Dia cuma mengharap pengakuan dari orang, bukan dari Sang Maha Kaya. Contoh lain ada si B yang juga nyumbang Rp 1 juta. Dia pesan untuk disebut “Hamba Allah” saja saat pembacaan daftar sumbangan. Nah, saat dibacakan dan disebut “Hamba Allah”, si B bilang sama orang di sebelahnya “Eh yang nyumbang Rp 1 juta itu aku lho, tapi aku pesan untuk disebut Hamba Allah saja”. Ini kasusnya sama saja dengan si A, dia hanya berharap pengakuan dari orang.
Ikhlas itu baiknya tak ada orang lain yang tahu, cukup Allah saja. Biarkan apa yang kita keluarkan dihitung pahalanya oleh Allah. Memang pada dasarnya harta yang ada pada kita hanya titipan saja. Sebagian harta kita adalah hak orang lain. Jadi dengan sedekah yang ikhlas kita telah melepaskan apa yang seharusnya kita serahkan. Tapi ingat satu kalimat, “Jangan bilang siapa-siapa”. Kalau perlu, “Berikan dengan tangan kanan, tangan kiri jangan sampai tahu”. Dan jika setelah ikhlas kita masih ragu dan khawatir dengan apa yang akan terjadi, cukup serahkan pada Allah. Allah tahu yang kita perlukan. Jadi, ikhlas dan yakinlah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment